Modal intelektual kini dirujuk sebagai faktor penyebab sukses yang penting dan karenanya akan semakin menjadi suatu pumpunan perhatian dalam kajian strategi organisasi dan strategi pembangunan. Penyimpulan seperti ini dibasiskan di atas temuan-temuan tentang kinerja organisasi-organisasi, khususnya organisasi-organisasi yang padat pengetahuan (knowledge-intensive organizations) (e.g. lihat Bounfour and Edvinsson 2005; Lonnqvist dan Mettanen). Namun, pengalaman-pengalaman pada aras mikro organisasi ini kini juga mulai ditransfer pada konteks kemasyarakatan atau pembangunan pada umumnya. Tema inilah yang diangkat oleh Bounfour dan Edvinsson dalam Intellectual Capital for Communities (2005).

Menyikapi mengapa modal intelektual didudukkan di tempat strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu organisasi atau masyarakat, mungkin pertama dapat kita rujuk dari fenomena pergeseran tipe masyarakat dari masyarakat industrialis dan jasa ke masyarakat pengetahuan. Drucker   (1997, 2001) misalnya meramalkan datangnya dan sekaligus mendeskripsikan pergeseran ke arah era masyarakat pengetahuan (knowledge society) ini dalam bukunya Manajemen di Tengah Perubahan Besar. Dalam masyarakat tipe ini, pengetahuan, juga kapabilitas untuk belajar (learning capability), dan tindakan berinvestasi untuk maksud membangun basis-basis intelektual merupakan penggerak perubahan yang cepat dalam masyarakat dan karenanya manusia sebagai pekerja pengetahuan (knowledge worker) menjadi aktor utamanya. Vitalnya kedudukan pengetahuan dalam masyarakat baru ini telah disuarakan juga oleh Alfred Marshall dengan mengatakan bahwa pengetahuan adalah mesin produksi yang paling powerful (dalam Bontis 2005).

Konteks ’revolusi pengetahuan’ (Auber 2005) seperti itu, terjadi juga pergeseran model perekonomian ke arah ekonomi pengetahuan (knowledge economy) (Bounfour dan Edvinsson 2005, Aubert 2005) atau ekonomi pembelajaran (learning economy) (Lundvall 1996). Perekonomian yang ber- atau dicirikan pengetahuan memiliki tiga plus satu karakteristik kunci, yakni 1) riset dan pendidikan, 2) relasi ke pertumbuhan, dan 3) pembelajaran dan kapabilitas, serta 4) pentingnya perubahan, dominasi struktur yang (lebih) datar, dan modal sosial. Bank Dunia juga telah memulai program yang disebut sebagai Knowledge for Development untuk mendorong perkembangan negara-negara ke arah knowledge economy.

Kedua, pada tataran mikro perusahaan, tampaknya agak sulit untuk tidak menyertakan atau mengaitkan perkembangan ini di dalam konteks persaingan dan pencarian basis keunggulan kompetitif. Wacana kompetisi dan keunggulan bersaing mengalami pergeseran yang sangat signifikan dalam perkembangan kajian strategi bisnis dan pembangunan ekonomi. Mulanya dikenal teori keunggulan absolut dan keunggulan komparatif dalam konteks interaksi perdagangan atau perekonomian antar wilayah atau internasional. Kemudian muncul pemikiran brilian dari Michael Porter tentang keunggulan bersaing (competitive advantage) di era 1980an. Namun, pandangan Porter kemudian dianggap tidak mampu menjelaskan secara komprehensif fenomena keunggulan sebuah organisasi atau negara dari lainnya. Belakangan muncul aliran baru dalam analisis keunggulan bersaing yang dikenal dengan pendekatan berbasis sumber daya (resource-based view of the firm/RBV). Pandangan terakhir ini saya nilai sebagai yang relevan dalam konteks perekonomian yang kuat dicirikan oleh keunggulan pengetahuan (knowledge/learning economy) atau perekonomian yang mengandalkan aset-aset tak-wujud (intangible assets).

Fenomena kedua ini (konteks persaingan dan keunggulan bersaing) dapat dimengerti ketika setiap organisasi berupaya mencari strategi bersaing dan basis daya saing yang tepat untuk unggul. Konsep strategi itu sendiri, seperti didefinisikan Barney (2007), adalah berkaitan dengan teori sebuah organisasi tentang bagaimana ia berkinerja tinggi dan unggul di dalam bidang bisnisnya.

Dalam wacana pencarian cara untuk unggul ( strategi), maka terjadi pergeseran pandangan dalam memahami strategi. Jika pada model yang dikembangkan Porter atau disebut pendekatan organisasi industri/OI, strategi adalah semata soal pemosisian di pasar. maka kelompok RBV menilai bahwa nilai ekonomis dan keunggulan kompetitif sebuah organisasi ekonomi terletak pada kepemilikan dan pemanfaatan secara efektif sumber daya organisasi yang mampu menambah nilai (valuable), bersifat jarang dimiliki (rare/scarce/unique), sulit untuk ditiru (imperfectly immitable/hard to copy), dan tidak tergantikan oleh sumber daya lain (non-substitutable) (Barney 1991, 2001, 2007; Lewin and Phelan 1999; Wright, McMahan, dan McWilliams 1992). Oleh karena itu, strategi bersaing harus diletakkan pada upaya-upaya mencari, mendapatkan, mengembangkan, dan memertahankan sumber daya-sumber daya strategis. Dua sumber daya strategis yang dimaksud adalah manusia (modal manusia) dan organisasi(organizational capital). Dalam istilah yang berbeda, kita lalu dapat menyandingkannya dengan konsep modal intelektual.

Pada intinya, terjadi perubahan-perubahan signifikan dalam lingkungan sekitar organisasi yang kemudian telah mendorong makin relevannya pembicaraan mengenai modal intelektual. Oleh karena itu, tulisan ini dibuat untuk membahas sejumlah hal di seputar konsep model intelektual ini untuk membangun pemahaman dan cara pandang terhadapnya, di samping untuk mendorong diskursus yang lebih jauh atasnya, termasuk untuk menstimulasi baik riset maupun formulasi strategi dan kebijakan yang relevan.

Dari kepentingan itu, tulisan ini disusun dengan memuat beberapa hal. Pertama, mengingat konsep modal intelektual cenderung baru, maka perlu dicari makna/definisi yang cenderung dapat kita terima untuk memahamimnya dengan lebih baik. Kedua, sebagai sebuah konsep, maka modal intelektual tersusun atas sejumlah komponen pembentuk yang oleh karenanya perlu dipetakan apa saja komponen-komponen pembentuk yang dimaksud. Ketiga, jika modal intelektual merupakan faktor penentu kinerja dan keunggulan yang penting bagi organisasi dan masyarakat, maka salah satu persoalan vital yang muncul kemudian adalah bagaimana mengukurnya. Isu pengukuran modal intelektual masih merupakan wacana yang terus berkembang dan karenanya perlu diidentifikasi metode-metode pengukuran modal intelektual yang telah dikembangkan.

Terakhir, tulisan ini berupaya untuk menarik sejumlah implikasi penting dalam rangka mengembangkan riset di bidang ini serta potensi aplikasinya melalui pengembangan strategi dan kebijakan yang penad, bagi organisasi dan masyarakat.

Masalah

  1. Bagaimana terjadi dan terbentuknya jaringanpertukaran knowledge di organisasi?
  2. l Bagaimana membangun knowledge sharingdi unit kerja tersebut?
  3. Apabila ke empat fungsi tersebut dapatdipenuhi, apakah akan mengubah organisasiPDII-LIPI ke depan seperti : struktur, sistem,perilaku, sikap, norma dan keterampilan ?

Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari kegiatan tahun 2006 dan 2007 adalah membangun konsep “Organizational Knowledge Management Systems” (OKMS) di salah satu unit kerja di LIPI yang merupakan hasil penerapan sistem KM yang terdiri dari empat fungsi tersebut di atas.

Sasaran tahun 2006 adalah :

  1. Membuat desain OKMS dan memasukkan (entry) data ;
  2. Identifikasi kemampuan, kegiatan (rapat,ceramah, diskusi, seminar dsb), output yang dihasilkan misalnya pedoman, laporan, prosedur, klasifikasi dan lain sebagainya;
  3. Melakukan serangkaian kegiatan dan sosialisasi OKMS agar ke empat fungsi yang dibangun dapat terimplementasi secara efisien dan efektif.

Manfaat

Adanya konsep Organizational Knowedge Management Systems (OKMS) yang merupakan penerapan KM dengan memberdayakan ke empat fungsi yaitu : using knowledge, finding knowledge, creating knowledge dan packaging knowledge yang sudah diimplementasikan di unit organisasi LIPI, serta membangun budaya knowledge sharing di kalangan karyawan unit kerja tsb diatas diharapkan dapat mendorong untuk berinovasi baik secara kelompok atau individu.

Hasil yang Diharapkan

Adanya suatu model OKMS yang sesuai dan dapat diterapkan pada organisasi dokumentasi dan informasi:

  • Model knowledge sharing pada komunitas dokumentasi, informasi dan perpustakaan dalam suatu organisasi dokinfopus;
  • Prototipe OKMS;
  • Kerangka dan rancangan perubahan organisasi dokinfo yang sesuai dengan azas OKMS yang mencakup : prinsip, alat analisis, pengembangan information communications technology (ICT), teori-teori yang mendasari, perubahan yang strategis, peningkatan individu, sistem, struktur dan proses kerja, desain organisasi, dan hubungan antar kelompok organisasi.

Kerangka Teori

Banyak organisasi belum atau tidak mengetahui potensi knowledge (knowledge + pengalaman) tersembunyi yang dimiliki oleh karyawannya.

Mengapa demikian? Riset menunjukkan bahwa knowledge dalam organisasi tersimpan dalam struktur :

42 % dipikiran (otak) karyawan;

– 26 % dokumen kertas;

– 20 % dokumen elektronik;

– 12% knowledge base elektronik.

Sistem pakar (expert system) merupakan salah satu teknologi andalan dalam knowledge management, terutama melalui empat skema penerapan dalam

suatu organisasi yaitu:

  1. case-based reasoning (CBR) yang merupakan representasi knowledge berdasarkan pengalaman, termasuk kasus dan solusinya;
  2. rule-based reasoning (RBR) mengandalkan serangkaian rules yang merupakan representasi dari knowledge dan pengalaman karyawan/manusia dalam memecahkan kasuskasus yang rumit;
  3. model-based reasoning (MBR) melalui representasi knowledge dalam bentuk atribut, perilaku, antar hubungan maupun simulasi proses terbentuknya knowledge;
  4. constraint-satisfaction reasoning yang merupakan kombinasi antara RBR dan MBR.

Di dalam konfigurasi yang demikian, dimungkinkan pengembangan knowledge management di salah satu unit organisasi dokumentasi dan informasi dalam bentuk:

  1. proses mengoleksi, mengorganisasikan, mengklasifikasikan, dan mendiseminasikan knowledge ke seluruh unit kerja dalam suatu organisasi agar knowledge tersebut berguna bagi siapapun yang memerlukannya,
  2. kebijakan, prosedur yang dipakai untuk mengoperasikan database dalam suatu jaringan intranet yang selalu up-to-date,
  3. menggunakan ICT yang tepat untuk menangkap knowledge yang terdapat di dalam pikiran individu sehingga knowledge itu bisa dengan mudah digunakan bersama dalam suatu organisasi,
  4. adanya suatu lingkungan untuk pengembangan aplikasi expert systems;
  5. analisis informasi dalam databases, data mining atau data warehouse sehingga hasil analisis tersebut dapat segera diketahui dan dipakai oleh lembaga,
  6. mengidentifikasi kategori knowledge yang diperlukan untuk mendukung lembaga, mentransformasikan basis knowledge ke basis yang baru,
  7. mengkombinasikan pengindeksan, pencarian knowledge dengan pendekatan semantics atau syntacs,
  8. mengorganisasikan dan menyediakan know-how yang relevan, kapan, dan bilamana diperlukan, mencakup proses, prosedur, paten, bahan rujukan, formula, best practices, prediksi dan cara-cara memecahkan masalah. Secara sederhana, intranet, groupware, atau bulletin boards adalah sarana yang memungkinkan lembaga menyimpan dan mendesiminasikan knowledge,
  9. memetakan knowledge (knowledge mapping) pada suatu organisasi baik secara on-line atau off-line, pelatihan, dan perlengkapan akses ke knowledge.

Penerapan Knowledge Management

Selain ketiga hal tersebut di atas, Birkinsaw juga menggaris bawahi tiga kenyataan yang sangat mempengaruhi berhasil tidaknya knowledge

management yaitu:

  1. Penerapannya tidak hanya menghasilkan knowledge baru, tetapi juga mendaur-ulang knowledge yang sudah ada.
  2. Teknologi informasi belum sepenuhnya bisa menggantikan fungsi-fungsi jaringan sosial antar anggota organisasi.
  3. Sebagian besar organisasi tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka ketahui, banyak knowledge penting yang harus ditemukan lewat upaya-upaya khusus, padahal knowledge itu sudah dimiliki sebuah organisasi sejak lama.

Di organisasi-organisasi modern saat ini, pandangan tentang manajemen perubahan ini bersinggungan pula dengan cara mereka memberlakukan knowledge sebagai modal intelektual. Manajemen perubahan mencakup prinsip, alat analisis, ICT, teori perubahan strategis, peningkatan fungsi individu, sistem, struktur dan proses kerja yang di dahului dengan desain organisasi, perbaikan kinerja pegawai, hubungan antar bidang/bagian/kelompok dalam suatu organisasi.

UKM perlu menggunakan strategi pengelolaan pengetahuan untuk meningkatakan daya saing dengan menerapkan IRSA à identity, reflect, share and apply adalah sebagai berikut:

  • Identifikasi : knowledge assets yang ada di suatu perusahaan diidentifikasi sebagai berikut à kebanyakan berada di memori staff atau bersifat tacit, pengalaman, kreativitas staff, catatan-catatan, dokumen, manual, laporan, hasil penelitian perlu diinventaris dengan baik dan dibuat knowledgemapping.
  • Reflect : merubah tacit ke explicit knowledge agar dapat dengan mudah di bagi atau share dengan karyawan yang lain, inventarisasi apa yang sudah menjadi best practices, membuat manual atau dokumentasi yang baik sehingga mudah dipahami oleh orang lain, membuat analisis apakah ada gap antara knowledge yang sudah diinventarisasi dengan knowledge yang dibutuhkan.
  • Hasil dari refleksi berupa: kumpulan dari best practice description di setiap fungsi organisasi (ingat ISO 9002), saran-saran perbaikan, index dari informasi yang ada, serta hasil analisa gap berupa program atau kegiatan knowledge sharing untuk menutup knowledge gap.
  • Share dan Application : terdapat sistem atau mekanisme sehingga staf dapat mengakses knowledgebased-systems yang tersedia, diciptakan group-group diskusi, kelompok kerja atau bentuk workshop yang sistematis dan berkesinambungan, budaya belajar sepanjang masa perlu disosialisasikan dan diterapkan, kemudian aplikasi knowledge assets untuk meningkatkan kinerja perusahaan perlu dibentuk dan dibuat sistem berbasis pengetahuan (knowledge based-systems), kinerja intangible assets terus ditingkatkan dan disosialisasikan secara periodik, dan adanya audit system knowledge –performance.

Sejumlah faktor diperlukan untuk kesuksesan penerapan strategi KM di perusahaan adalah sebagai berikut :

  • scanning mengenai lingkungan perusahaan;
  • kondisi dan praktek bisnis, apakah perusahaan melakukan pengumpulan informasi dan pengetahuan mengenai kondisi dan praktek bisnis di luar perusahaan;
  • operasional pesaingnya, apakah perusahaan memahami cara kerja atau operasional internal perusahaan dibandingkan dengan pesaingnya;
  • memasukkan knowledge sebagai aset;
  • budaya perusahaan yang berdasarkan knowledge, seperti coorporate culture perlu diciptakan agar inovasi menjadi membudaya di perusahaan;
  • perusahaan menghadapi kenyataan bahwa mereka membutuhkan pengelolaan dari aset knowledgeuntuk investasi yang penting berupa : tenaga kerja, jaringan dan sistem informasi dan pengetahuan.

Merebaknya fenomena manajemen pengetahuan merupakan kritik langsung kesalahpahaman karena ‘pengetahuan” tidak diartikan sebagai benda mati, sebagaimana kalimatberikut ini tentang “pengetahuan”:

the potentiality of values as it exists in various components or flows of overall “capital”in a firm, the relationships and synergistic modulations that can augment the valueof that capital, and the application of its potential to real business tasks…(it) in –cludes an organization’s unrefined knowledge assets as well as wealth generatingassets whose main component is knowledge”

(Society of Management Accountants of Canada,1999).

Potensi nilai yang ada pada berbagi komponen atau proses (aliran) keseluruhan

“modal” dalam sebuah perusahaan, antar hubungan dan penyesuian-penyesuiansinergis yang bisa meningkatkan nilai modal tersebut, dan penerapan potensi tersebutpada tugas-tugas bisnis yang sesungguhnya… (ini) mencakup pula modal pengetahuan organisasi yang belum diolah, dan modal yang mendatangkan keuntungan dan yang komponen utamanya adalah pengetahuan.

Definisi di atas mengandung aktifitas dan dinamika serta penerapan pengetahuan kepada tugas-tugas yang sesungguhnya, bukan sesuatu yang diam. Beberapa penulis, misalnya Malhotra (2000) mengingatkan bahwa dinamika penerapan pengetahuan saat ini merupakan konsekuensi logis dari kehidupan organisasi yang harus selalu menyiapkan respon terhadap lingkungan yang bercirikan dua hal yaitu:

  • Kerumitan atau kompleksitas, disebabkan oleh peningkatan jumlah, keragaman dan saling ketergantungan antara berbagai entitas di dalam lingkungan sebuah organisasi.
  • Gejolak lingkungan atau turbulensi, ditentukan oleh semakin cepatnya siklus (cycle-time) dari setiap kejadian atau peristiwa. Kompleksitas dan gejolak lingkungan, serta tingkat pertumbuhan absolut keduanya, akan sangat meningkat dimasa mendatang. Dalam keadaan seperti ini, menurut Malhotra, banyak organisasi memiliki sistem informasi yang pada umumnya memakai model manajemen informasi untuk keperluan :
  • mengupayakan agar pangkalan data pengetahuan dan para pemiliknya secara terus menerus disesuaikan dengan perubahan lingkungan eksternal.
  • memberitahu para pegawai atau anggota organisasi tentang perubahan-perubahan terakhir, baik dalam produk maupun prosedur untuk menghasilkan sebuah produk.Namun, didalam lingkungan yang kompleks dan bergejolak ada beberapa persoalan yang muncul dari model seperti ini, yaitu:
  • manajer mampu mengendalikan kegiatan organisasi kalau ia memilikipengetahuan, tetapi dalam lingkungan yang serba bergejolak dan perubahannya berita tidak sinambung (discontinuous), maka seringkali manajer maupun organisasi tempatnya bekerja tidak punya pengetahuan yang memadai. Sistem informasi cenderung menyimpan pengetahuan yang tidak selalu sesuai dengan perubahan dilingkungan eksternal.
  • Dalam lingkungan yang bergejolak, lebih baik jika organisasi menyebarkan pengetahuan dan otoritas secara lebih merata. Model manjemen informasi justru cenderung memusatkan pengetahuan di sebuah pangkalan data yang cenderung statis pula.
  • Di masa yang penuh persaingan dan gejolak, diperlukan kemampuanmengantisipasi masa depan yang didasarkan kepada multi interpretasi, sementara sistem informasi cenderung mendukung kegiatan kemampuan menduga berdasarkan satu interpretasi tentang bagaimana mengantisipasi masalah.

Pemikiran tentang perubahan fundamental dalam cara berorganisasi telah melahirkan pemikiran tentang manajemen perubahan. Menurut Worren,Ruddle dan Moore (1999) istilah manajemen perubahan (change management) saat ini dipakai untuk mencakup teori dan praktek yang berhubungan dengan pengembangan organisasi (organizational development), sumber daya manusia, majemen proyek (project management), dan perubahan strategi organisasi.

Manajemen perubahan menjadi upaya perubahan organisasional yang lebih besar, bersama dengan komponen lain, yaitu pengembangan strategi, penyempurnaan proses bisnis, dan penerapan teknologi. Tujuan utamanya seringkali adalah mengintegrasikan komponen-komponen ini, misalnya dengan menciptakan kesetaraan antara penetapan tujuan-tujuan strategis dengan kebijakan SDM, atau membangun infrastuktur teknologi informasi baru untuk mendukung terciptanya kerjasama antar kelompok. Manajemen peubahan sebenarnya juga merupakan penerapan teori yang menyatakan bahwa berpindah dari kondisi lama ke kondisi baru yang sesuai dengan masa depan memerlukan perubahan komprehensif dalam berbagai komponen, termasuk perilaku, kultur, struktur organisasi, proses kerja dan infrastuktur teknologi informasi.

Prinsip pengembangan organisasi sebelumnya memusatkan perhatian kepada keterampilan dan sikap individual, kurang memperhatikan peran struktur dan sistem. Dalam pandangan klasik, organisasi yang ingin berubah harus mengupayakan perubahan dalam sikap dan pandangan orang sebelum mengubah struktur organisasi atau teknologi yang digunakan sebuah organisasi.

Dengan kata lain, pertama-tama harus ada perubahan dalam perilaku pegawai, sebelum sikap, norma dan keterampilan terbentuk secara sempurna, lalu perubahan dalam struktur formal dan sistem dapat berlangsung sebuah komitmen dan kompetensi berkembang melalui keterlibatan semua anggota organisasi dalam proses perubahan. Jadi organisasi- organisasi modern saat ini diingatkan kembali tentang perlunya perhatian kepada apa yang selama ini dikenal sebagai “modal sosial” yaitu:

  • Jaringan hubungan pribadi antar lintas, yang berkembang perlahan-lahan sebagai landasan bagi saling percaya, kerjasama, dan tindakan kolektif dari sebuah komunitas;
  • Merupakan jaringan saling mengenal dan saling menghargai;
  • Mengandung kewajiban pada diri anggota yang timbul karena rasa terima kasih, respek, dan persahabatan, atau adanya hak yang dijamin secara institusional;
  • Anggota jaringan memiliki akses ke informasi dan kesempatan;
  • Status sosial atau reputasi sosial bagi anggota jaringan, terutama kalau keanggotaannya terbatas.

Social Capital dengan demikian adalah keseluruhan sumberdaya aktual maupun potensial yang tertanam di dalam, tersedia melalui, diambil dari, jaringan hubungan yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah unit sosial. SC dengan demikian terdiri dari jaringan maupun asset yang bisa dimobilisasi melalui jaringan tersebut.

Model Skandia juga memberikan penekanan kepada pentingnya “human capital” dalam konteks organisasi atau komunitas, istilah ini bisa dipakai dalam pengertiannya sebagai “intellectual capitalyang mengacu kepada pengetahuan dan kemampuan mengetahui (knowing capability) dari sebuah kolektifitas sosial, misalnya organisasi, komunitas intelektual, atau praktisi professional. IC ini pararel dengan konsep HC yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan kapabilitas yang memungkinkan seseorang bertindak dengan cara yang baru. IC dengan demikian, merupakan sebuah sumberdaya penting dan sebuah kapabilitas untuk bertindak berdasarkan pengetahuan dan kemampuan mengetahui.

Pada prinsipnya, konsep knowledge management dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja perpustakaan. Knowledge management dapat dijadikan sebagai pemicu agar pustakawan lebih inovatif dan kreatif mengembangkan konsep perpustakaan. Pustakawan juga harus berupaya mengidentifikasi pengetahuan implisit dan mengembangkan sistem yang diperlukan untuk menanganinya. Walaupun hal yang disebutkan terakhir bukan pekerjaan yang mudah, tetapi prakarsa ke arah itu harus ditumbuhkan dan sedapat mungkin diimplementasikan.

Penerapan konsep knowledge management pada perpustakaan harus melalui beberapa tahapan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan evaluasi terhadap sistem perpustakaan yang telah ada. Proses ini akan memberikan pemahaman kepada kita tentang permasalahan mendasar yang terjadi pada perpustakaan. Memang secara umum permasalahan tiap perpustakaan di perguruan tinggi hampir sama (seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumny). Namun dalam beberapa perpustakaan, tidak tertutup kemungkinan ada faktor lain yang mempengaruhinya. Hal inilah yang harus dianalisis secara sistemik.

Langkah kedua yang harus dilakukan adalah identifikasi kebutuhan. Dalam hal ini, sebagian besar konsumen perpustakaan di perguruan tinggi adalah mahasiswa dan dosen. Berarti tujuan perpustakaan adalah menyediakan pengetahuan yang dibutuhkan oleh mereka. Fungsi perpustakaan adalah sebagai penyalur pengetahuan.

Selanjutnya, penerapan konsep knowledge management sangat diperlukan. Konsep ini digunakan untuk memperbaiki sistem yang sudah ada. Konsep knowledge management memungkinkan perbaikan sistem perpustakaan sebagai media transfer pengetahuan.

Konsep knowledge management tidak bisa dilepaskan dari konsep sistem informasi (information system). Apakah sistem informasi? Menurut Robert K Leitch dan K Roscoe Davis (Accounting Information System, 1983) :

Sistem informasi adalah suatu sistem dalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian, mendukung operasi, bersifat manajerial dan kegiatan strategi dari suatu organisasi dan menyediakan pihak luar tertentu dengan laporan-laporan yang diperlukan

Jadi sistem informasi perpustakaan dapat didefinisikan sebagai “sebuah sistem terintegrasi, sistem manusia mesin, untuk menyediakan informasi yang mendukung operasi, manajemen dan fungsi pengambilan keputusan dalam sebuah perpustakaan”. Sistem ini memanfaatkan perangkat keras dan perangkat lunak komputer, prosedur manual dan model manajemen.

Sistem informasi adalah sebuah sistem. Sedangkan penggunaan teknologi informasi adalah sebagai alat (tool). Konsep sistem informasi memiliki korelasi dengan konsep knowledge management. Konsep sistem informasi adalah salah satu pendukung bagi konsep knowledge management. Jika merujuk pada ruang lingkup knowledge management, penggunaan konsep sistem informasi dapat melingkupi beberapa faktor dalam konsep knowledge management, meliputi struktur (structure), teknologi (technology), desain organisasi (organizational design), distribusi (distribution/sharing), storing dan creation.

Bagaimana aplikasi konsep knowledge management dalam sistem perpustakaan? Langkah pertama adalah menterjemahkan konsep knowledge management kedalam sebuah sistem perpustakaan. Merujuk ke ruang lingkup (Finerty, 1997), terdapat berbagai faktor atau kata kunci dalam ruang lingkup knowledge management.

1. Creation

Bagaimana pengetahuan diciptakan. Menurut konsep SECI, terjadi siklus perkembangan pengetahuan secara terus-menerus. Pengetahuan ini makin berkembang dengan adanya transfer dan analisis dari berbagai pihak. Lahirnya para ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan juga memiliki andil dalam mengembangkan pengetahuan.

Bagaimana hubungannya dengan perpustakaan? Perpustakaan adalah media untuk melakukan transfer pengetahuan. Perpustakaan tidak menciptakan pengetahuan. Namun perpustakaan juga memiliki andil dalam proses pemicu berkembangnya pengetahuan. Dengan adanya perpustakaan, pengetahuan dari pengguna perpustakaan akan bertambah. Hal ini akan mendukung proses pengembangan pengetahuan.

Jadi, bila dihubungkan dengan konsep creation, perpustakaan harus mampu menjadi pemicu (trigger) perkembangan pengetahuan, khususnya diperguruan tinggi. Dalam hal ini, pengguna utama perpustakaan adalah mahasiswa dan dosen. Perpustakaan yang berkualitas akan mendukung ke arah berkembangnya penelitian dan pengetahuan.

2. Utilization

Konsep utilization berhubungan dengan utilisasi dari sistem itu sendiri. Dalam hal ini, utilisasi sistem perpustakaan adalah bagaimana tingkat utilitas atau pemakaian dari perpustakaan. Dalam perguruan tinggi, perpustakaan adalah bagian penting. Atau dengan kata lain, perpustakaan adalah sebuah sub-sistem dari sistem perguruan tinggi.

Pengguna (user) perpustakaan adalah dosen dan mahasiswa. Jadi seberapa tinggi tingkat utilitasnya, tergantung seberapa sering pengguna tersebut memanfaatkan fasilitas perpustakaan. Perancangan sistem perpustakaan harus memperhatikan utilitas dari perpustakaan tersebut. Artinya jika perpustakaan dalam sebuah perguruan tinggi menjadi sebuah rujukan dari penggunanya, berarti tingkat utilitasnya tinggi sehingga perpustakaan harus dirancang dengan untuk dapat memenuhi kebutuhan penggunanya. Misalnya, koleksi buku-buku yang lengkap.

3. Stroring

Konsep storing adalah salah satu proses transfer pengetahuan. Korelasi dengan sistem perpustakaan yang akan dibangun adalah bagaimana perpustakaan dapat mengadopsi konsep storing dalam perancangan sistemnya. Dengan adanya konsep storing, pengguna mendapatkan pengetahuan sehingga tingkat pemahamannya akan berkembang.

Perpustakaan yang sesuai dengan keinginan pengguna adalah salah sarana agar pengunjung merasa nyaman berada didalamya. Dalam hal ini perpustakaan harus mampu menyediakan pelayanan yang memuaskan bagi pengunjung, seperti prosedur yang tidak rumit untuk pembuatan kartu anggota dan peminjaman, pelayanan yang cepat, keramahan dari petugas perpustakaan dan fasilitas yang ada dalam perpustakaan.

4. Acquisition

Acquisition berarti kemahiran. Dalam hal ini, transfer pengetahuan yang diberikan oleh perpustakaan harus mampu memberikan nilai tambah bagi pengunjungnya. Kemahiran dalam hal ini adalah tingkat pemahaman tentang suatu bidang ilmu yang makin bertambah, bertambahnya ketrampilan terutama dalam hal membaca dan menulis.

Sistem perpustakaan harus dirancang dengan berpegang pada prinsip tersebut. Artinya, dalam perpustakaan perguruan tinggi, isi dari buku-buku yang ada dalam perpustakaan harus sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Jangan sampai mengkoleksi buku-buku yang kurang berguna bagi perkembangan pengetahuan dan skill dari penggunanya.

5. Distribution/Sharing

Konsep ini menjelaskan tentang bahwa harus ada proses distribusi pengetahuan. Jika dihubungkan dengan sistem perpustakaan, perpustakaan harus mampu berfungsi sebagai transfer pengetahuan. Artinya, bagaimana mentransfer pengetahuan yang ada dalam buku-buku ke dalam pemikiran penggunanya. Jika merujuk kepada konspe SECI, hal ini adalah salah satu contoh internalisasi. Proses internalisasi adalah proses transfer pengetahuan dari explicit knowledge ke tacit knowledge. Perpustakaan harus mampu memberikan kondisi dimana proses transfer pengetahuan dapat berjalan dengan sempurna.

6. Structure

Konsep struktur mengarah tentang bagaimana struktur transfer pengetahuan. Atau dengan kata lain, bagaimana struktur media yang digunakan untuk melakukan transfer pengetahuan. Dihubungkan denga sistem perpustakaan, perpustakaan harus mampu mendesain struktur yang benar-benar mendukung tujuan utama, yaitu transfer pengetahuan.

Konsep business process16 sangat diperlukan dalam merancang sistem perpustakaan. Perpustakaan harus dirancang sedemikian rupa agar business prosess tidak terlalu panjang dan tidak menghabiskan banyak waktu. Untuk itu, diperlukan kemauan dari pihak pimpinan untuk melaksanakannya.

7. Technology

Teknologi adalah suatu alat (tool) yang digunakan dalam mengembangkan sistem perpustakaan. Perkembangan teknologi informasi yang pesat dapat ditambahkan kedalam sistem perpustakaan. Perkembangan teknologi informasi akan memberikan kemudahan kepada pengguna perpustakaan dan sistem pelayanannya.

Pengembangan konsep knowledge management dapat menggunakan teknologi informasi. Dalam hal ini ada beberapa bagian penting, antara lain perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan jaringan (network). Perangkat keras yang diperlukan dalam sistem perpustakaan antara lain, CPU, storage, media penghubung, kabel dan lain-lain. Perangkat lunak yang diperlukan adalah program untuk sistem perpustakaan. Namun tanpa membangun jaringan dengan dunia luar, perpustakaan ibarat ‘katak dalam tempurung’. Artinya, dengan membangun jaringan berarti memberikan keuntungan bagi perpustakaan.

Banyak kemudahan yang ditawarkan dengan penggunaan teknologi informasi. Perpustakaan harus menggunakan keunggulan teknologi informasi jika tidak ingin tertinggal. Perpustakaan harus mulai membangun dirinya, khususnya perpustakaan perguruan tinggi, yang notabene-nya adalah suatu sub-sistem pendukung dari sistem perguruan tinggi.

8. Measurement

Secara umum, konsep ini mengarah kepada pengukuran secara kuantitatif. Dalam konsep knowledge management, konsep ini penting. Untuk mengukur keberhasilan suatu tujuan tentu saja dibutuhkan berbagai parameter yang jelas. Korelasi dengan sistem perpustakaan adalah dalam sistem perpustakaan diperlukan sebuah sistem pengukuran keberhasilan tujuan.

9. Organizational Design

Konsep ini mengarah kepada struktur organisasi perpustakaan. Struktur organisasi perpustakaan harus berorientasi pada kebutuhan. Artinya jangan sampai struktur dibuat terlalu birokratis dan terlalu banyak jabatan yang kurang perlu. Dalam hal ini perlu dilakukan analisis jabatan (job analysis). Hal ini akan menghilangkan jabatan-jabatan yang kurang perlu. Dengan demikian, efektifitas dan efisiensi sistem organisasi dapat tercapai.

Desain organisasi juga harus disesuaikan dengan sumber daya manusia, baik secara kuantitas dan kualitas. Perpustakaan di perguruan tinggi mestinya memiliki karyawan dengan skill yang dapat bersaing. Perpustakaan tidak hanya sebagai saran peminjaman buku. Namun lebih dari itu, perpustakaan adalah salah satu media untuk memacu perkembangan penelitian dan pengetahuan.

10. Leadership

Konsep leadership sebenarnya kurang diperlukan secara nyata. Dalam sistem perpustakaan, hanya konsep ini hanya berhubungan dengan sistem organisasi. Jadi, tidak semua konsep dari knowledge management dibutuhkan secara utuh untuk membangun sistem perpustakaan.

11. Culture

Budaya adakah ruang lingkup yang luas. Dalam hal ini perpustakaan harus mampu menumbuhkan nilai budaya membaca. Budaya membaca memang kurang tumbuh di negara Indonesia. Hal ini berlanjut pula ke perguruan tinggi. Mahasiswa di Indonesia kurang terbiasa dengan budaya membaca. Jadi, ini adalah salah satu tugas berat perpustakaan.

Bidang Intellectual Capital telah menerima signifikan profesional dan ketertarikan akademik. Secara khusus, kebanyakan pengukuran Intellectual Capital dan model pelaporan telah dikembangkan oleh para akademisi, konsultan dan praktisi.

Populer model yang digunakan untuk membangun laporan Intellectual Capital termasuk Kaplan dan Norton, Äôs Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton, 1992), Karl-Erik Sveiby, Aktiva Monitor tidak berwujud (Sveiby, 1997) dan Skandia, (Edvinsson dan Malone, 1997). Masing-masing kerangka kerja pelaporan akan secara singkat dibahas di bawah ini.

Balanced Scorecard

Balanced Scorecard terdiri dari empat perspektif: keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Semua empat perspektif gabungan tersebut memberikan pemahaman tentang visi dan strategi unit bisnis. Masing-masing perspektif diartikulasikan dengan mengidentifikasi kegiatan inti yang paling berpengaruh positif pada nilai yang diciptakan untuk unit bisnis. Upaya Balanced Scorecard upaya untuk memperluas fokus dari manajer untuk melihat lebih jauh informasi keuangan jangka pendek ke arah intangible item lain yang terlibat dalam proses pembuatan value.

Aktiva Monitor Tidak Berwujud (IAM)

Serupa dengan Balanced Scorecard, Sveiby Karl Erik, Äôs (1997) Aktiva Monitor Tidak berwujud (IAM) melaporkan informasi kualitatif dan lainnya yang terkait dengan intelektual modal perusahaan. IAM bertujuan untuk menyajikan sebuah account yang lebih lengkap dan realistis, kinerja perusahaan dan masa depan bisnis yang potensial. Menurut Sveiby Intelectual Capital diklasifikasikan menjadi tiga bagian: internal modal,
eksternal modal, dan kompetensi karyawan. Internal modal termasuk organisasi struktur, parameter hukum, sistem manual, penelitian dan pengembangan, dan software. eksternal modal termasuk merek, dan hubungan pelanggan dan pemasok. kompetensi Karyawan  meliputi pendidikan dan pelatihan staf profesional yang pokok generator pendapatan.

Skema Nilai Skandia (SVS)

Skema Nilai Skandia (Edvinsson dan Malone, 1997) menawarkan konseptual
pemahaman tentang bagaimana hubungan antara Intellectual Capital dan keuangan (tradisional akuntansi) modal dalam menentukan nilai pasar perusahaan. Pasar nilai dipandang sebagai produk modal keuangan dan Intellectual Capital, yang mana terdiri dari modal manusia, modal struktural, modal pelanggan, modal organisasi dan modal inovasi proses.

Ketiga kerangka populer tersebut memasukkan unsur-unsur yang berbeda dalam dasar-dasar penilaian. Sebagai contoh: Balanced Scorecard berfokus pada proses internal, pelanggan, pembelajaran & pertumbuhan, dan perspektif keuangan; IAM berfokus pada internal modal, modal eksternal dan kompetensi personel, sedangkan Skema Nilai Skandia memberikan upaya untuk mengukur modal manusia, modal struktural dan modal organisasi.

Pengukuran IC memiliki beberapa manfaat. Sebagai contoh hal tersebut mengizikan perusahaan untuk menilai adanya resiko pada saat ini dan mengidentifikasikan ruang untuk mengembangkan dan memperbaiikinya, hal tersebut menyediakan sebuah pendekatan yang sistematis ketika membandingkan beberapa unit didalam sebuah atau beberapa perusahaan.

Manfaat dapat secara langsung , tidak langsung maupun jangka panjang.

  • Keuntungan langsung memperbaiki performansi dari finansial (keuangan) suatu organisasi.
  • Keuntungan tidak langsung di relasikan kepada perubahan dalam element IC dari kinerja atau performansi yang mana akan memberikan manfaat kepada perusahaan seperti motivasi terhadap staff untuk melakukan kegiatan yang lebih produktif atau meningkatkan dalam penggunaan kembali code atau reduksi dalam waktu testing.
  • Manfaat jangka panjang termasuk sebuah perbaikan dari hubungan didalam sebuah perusahaan

Tantangan jangka panjang adalah meningkatkan modal manusia dan mengubahnya menjadi modal struktural, sekaligus menciptakan nilai bagi perusahaan.

Oleh karena itu, penting bahwa para manajer memahami arti dari IC dan menghargai nilai solusi IC karena ini akan membantu mereka untuk lebih memahami apa yang sebenarnya penting untuk kelangsungan hidup dan berkelanjutan organisasi mereka dalam pengetahuan intensif masyarakat.

Meskipun pengukuran IC memiliki beberapa keuntungan bagi perusahaan, ini adalah proses mahal karena waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan data, menganalisis dan mengambil tindakan pada orang-orang pengukuran.

Dalam rangka untuk menurunkan biaya, perusahaan mungkin perlu untuk mengotomatisasi pengukuran dan mengurangi jumlah orang yang terlibat dalam proses seperti dalam banyak kasus manfaat

Intellectual Capital merupakan modal utama perusahaan, namun hal tersebut sering tidak muncul dalam laporan keuangan. Alasan ini sering membawa suatu kesimpulan bahwa Intellectual Capital inilah yang menyebabkan adanya perbedaan antara nilai buku suatu perusahaan dengan market valuenya.

Dengan demikian sebenarnya laporan keuangan tidak lagi memadai. Semakin besar komposisi asset intangible berbagai perusahaan akhir-akhir ini, seharusnya mendorong perusahaan untuk lebih mengembangkan intellectual capital management daripada financial managementnya. Beberapa alasan lainnya yang mendorong perlunya pengukuran dan pelaporan Intellectual Capital adalah:

  • Indikator-indikator kinerja tradisional yang dianut sebagian besar perusahaan saat ini, masih berfokus pada masa lalu (apa yang telah dilakukan, ditransaksikan dan dicapai) kurang memberi arah atau pedoman terhadap apa yang harus dilakukan saat ini dan saat yang akan datang
  • Hasil pengukuran kinerja saat ini, lebih menggambarkan improvement yang parsial atau tidak menggambarkan kinerja yang utuh.
  • Indikator-indikator performance yang digunakan saat ini belum terintegrasi dengan strategi perusahaan, tidak balance, terlalu berorientasi finansial atau bersifat jangka pendek.

Perhatian perusahaan terhadap pengelolaan Intellectual Capital seharusnya semakin besar. Hal ini disebabkan bahwa Intellectual Capital merupakan landasan bagi perusahaan untuk unggul dan bertumbuh. Hal ini antara lain ditandai dengan semakin seringnya istilah knowledge based company muncul dalam wacana bisnis. Istilah tersebut ditujukan terhadap perusahaan yang lebih mengandalkan pengelolaan Intellectual Capital seabagai sumber keunggulan dan longterm growth.

Knowledge based company adalah perusahaan yang diisi oleh komunitas yang memiliki pengetahuan, keahlian, dan ketrampilan. Komunitas ini memiliki kemampuan belajar, daya inovasi, dan kemampuan problem solving yang tinggi. Ciri lainnya adalah perusahaan ini lebih mengandalkan knowledge dalam mempertajam daya saingnya, hal ini digambarkan dengan semakin mengecilnya investasi yang dialokasikannya untuk physical goods, sementara untuk Intellectual Capital mendapat alokasi investasi yang semakin besar.

Isu utama dalam manajemen intelektual adalah bagaimana mengkonversi asset intangible seperti pengetahuan manusia, struktur dan relasi bisnis ke suatu nilai yang akan disepakati. Untuk menjawab pertanyaan ini, di tataran akademik, lembaga pemerintah dan bisnis sudah berkembang peneltian yang menghasilkan beberapa model utuk menjabarkannya.

Dalam menerapkan sebuah sistem baru tentu ada tantangan dan hambatan yang akan ditemui, umumnya hambatan itu berupa :

1. Teknologi Informasi

Teknologi informasi merpakan bagian dari Organisasi Capital oleh sebab itu, Sistem Knowledge Management yang terintegrasi membutuhkan investasi Teknologi Informasi. Tanpa dukungan TI yang memadai maka Knowledge Management akan bersifat terdistribusi dan tidak berkembang. Teknologi Informasi penting terutama mendukung sistem yang mudah diakses, kecepatan dalam memperoleh informasi, memiliki sistem backup, dan sebagainya.

2.  Sumber daya manusia

Sumber daya manusia dalam hal ini adalah human capital memegang peranan panting dalam keberhasilan suatu sistem Knowledge Management. Karena kolaborasi antara human capital dengan organisasi capital akan menghasilkan customer capital yang sukses. Melalui manusia (human capital) sistem Knowledge Management ini dapat dikelola, dapat bertambah, berkembang, inovatif dan disaring/filter. Sehngga perlu diterapkannya sistem manajemen perubahan yang mendukung sistem Knowledge Management tersebut

3. Top Manajemen

Meski memiliki TI yang canggih, dan SDM yang kreatif dan cerdas tapi tanpa memiliki sistem Knowledge Management. Semua pengetahuan hanya akan berada di otak masing-masing karyawan saja. Untuk dapat terlaksananya Sistem Knowledge Management maka perlu adanya suatu kekuatan yang lebih besar yang didengarkan oleh seluruh karyawan.

Menurut Sveiby dan Malhotra ada empat metode dasar untuk mengklasifikasikan model pengukuran modal intellectual yaitu:

Market capitalisation method

Dalam market capitalization method, intellectual capital  dihitung sebagai perbedaan antara  kapitalisasi pasar dari perusahaan dengan pemegang saham
ekuitas. Metode ini berguna untuk menggambarkan
nilai keuangan intellectual capital dan untuk pembandingan interfirm
dalam industri yang sama. Salah satu kelemahan dari metode ini adalah bahwa hal itu tidak memberikan informasi mengenai komponen yang berkontribusi terhadap pembandingan. Eksklusif moneter hanya berfokus untuk menyediakan sebagian
perspektif saja.

Return on assets method (ROA)

Dengan metode return-on-aset (ROA), ROA dihitung dengan membagi laba perusahaan sebelum pajak dengan aset rata-rata yang nyata dan kemudian
membandingkan hasil tersebut dengan rata-rata industri. Perbedaan ini kemudian dikalikan dengan rata-rata aset berwujud pada organisasi untuk menghitung
suatu pendapatan tahunan dari intangible. Model sangat tidak relevan kepada pemerintah dan organisasi sebagai sektor publik, namun hal itu adalah hanya relevansi pembandingan terhadap industri serta hanya untuk menggambarkan
keuangan dari nilai intellectual capital.  Kerugian dari model ini adalah tidak mengandung informasi mengenai komponen yang berkontribusi dalam intellectual capital tersebut.

Direct intellectual capital measurement model

Dengan Direct intellectual capital measurement model maka nilai moneter dari aktiva tak berwujud diperkirakan dengan mengidentifikasi berbagai komponen. Model ini dapat digunakan dalam bersama dengan metode scorecard, yang hanya  terbatas digunakan untuk menilai dan menganalisa secara spesifik aspek-aspek dalam intellectual capital. Model ini mengijinkan untuk penilaian dari komponen-komponen dari intellectual capital serta kombinasi dari penilaian moneter dan non-moneter. Model ini menyediakan sebuah overview komperensif dari semua intellectual capital yang ada dalam organisasi

Scorecard model

Dalam model berbagai komponen scorecard aset tidak berwujud atau intellectual capital diidentifikasi, diindikatorkan dan diindekskan sehingga dihasilkan dan dapat dilaporkan dalam scorecard. Indeks komposit berdasarkan atas sintesis semua komponen dalam intellectual capital tersebut dapat dibuat. Model ini memungkinkan untuk pengukuran lebih dekat dengan masukan, proses, dan hasil sebenarnya sehingga pelaporan dapat dilakukan lebih cepat. Hal ini juga sangat cocok  untuk deteksi dan koreksi terhadap kesalahan dalam menyelaraskan input ,proses, output dan hasilnya. Model scorecard merupakan salah satu model yang paling banyak digunakan dalam Knowledge Management. Model ini juga yang paling berlaku untuk mengukur intellectual capital dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi.